Wednesday, July 21, 2010

Sport is culture,...olah raga adalah budaya

Usai sudah gegap gempita Piala Dunia 2010. Orang-orang Indonesia yang pecinta bola hanya sebagai outsider, hanya bisa jadi penonton dan belum jadi bagian dari kemeriahan itu. Kita sibuk menilai team Spanyol yang setelah tiga generasi akhirnya mampu memboyong Piala Dunia. Kita sibuk menganalisa kenapa team Jerman begitu solid dan kompak. Tapi kita tidak mencari tahu kenapa kita tidak bisa ambil bagian dalam event olah raga sepak bola seperti Piala Dunia ini. Negara sekecil Uruguay dengan jumlah populsai penduduknya yang tidak lebih dari 5 persennya jumlah populasi penduduk Indonesia mampu menyajikan sepak bola cantik dan bersanding dengan kekuatan yang sama dengan team hebat Jerman, Spanyol dan Belanda di empat besar.

Keseharian penduduk suatu negara dan kesibukannya akan tercermin dalam kegiatan-kegiatan perlombaan. Olah raga adalah bagian dari seni budaya sebuah bangsa. Maka bagi kita memimpikan untuk memboyong Piala Dunia ke Indonesia hanyalah mimpi seekor pungguk yang merindukan bulan. Terlalu tinggi jauh di awang-awang. Tidak akan pernah Piala Dunia itu tersentuh tangan pemain bola Indonesia,
SELAMA, olah raga terutama sepak bola bukan jadi keseharian kita. Saluran televisi kita menyajikan 24 hours sepak bola didalam siarannya pun tidak akan bisa mengubah kita menjadi pemain bola yang handal jika kita tidak pernah berada di lapangan bola untuk berlari-lari, jika kita tidak pernah menendang bola, jika kita tidak pernah berkeringat menggiring bola melewati lawan-lawan yang menghadang, jika kita tidak pernah berhasil membawa bola kedepan gawang dan mencetak gol dalam qualifikasi. Apalagi siaran sepak bola yang bagus selalu disiarkan lewat tengah malam dan siaran iklan sponsornya lebih banyak daripada siaran sepak bolanya. Tidak akan pernah ada anak-anak yang mempunyai skill olah raga jika kita menyuruh anak-anak kita hanya diam di rumah menonton TV, bermain play station, bermain handphone dan chatting dengan Facebook setiap hari setiap saat. Hanya karena para bapak lebih suka bermain golf dan para ibu ingin sibuk sendiri reuni dengan teman-teman lama dan malas menjaga anak-anak saat bermain di luar rumah.

Masih ada dalam ingatanku waktu sekolah dulu. Banyak dari teman-teman sekolahku yang selalu menghindari mata pelajaran olah raga di sekolah. Masih untung kalau mereka tidak madol alias cabut dari sekolah dan membolos saat jam pelajaran olah raga. Terutama untuk pelajaran olah raga yang tidak mereka sukai seperti atletik dan lari cross country keliling area sekolah. Mereka berusaha untuk mencari jalan memotong yang sesingkat mungkin sehingga tidak perlu berlari jauh. Teman-teman wanita dengan alasan menstruasi tidak ikut pelajaran olah raga. Senam pagi seminggu sekali kalau bisa sih datang terlambat supaya tidak usah ikut senam pagi. Yang mereka suka hanya olah raga Bola Basket dan Bola Volley. Yang tidak bisa Basket dan Volley ya hanya jadi penonton. Aku suka olah raga renang tapi di SMA tempatku sekolah tidak ada pelajaran olahraga renang. Guru olah raga tidak mengajarkan sepak bola karena tidak ada lapangan yang cukup lebar untuk bermain sepak bola. Bagi kita mata pelajaran olah raga hanya pelajaran ringan dan sampingan untuk sekedar menambah nilai bukanlah mata pelajaran sepenting pelajaran matematika.

Kenapa kita punya banyak pemain bulu tangkis yang hebat tapi kebanyakan adalah warga keturunan China. Bisa kita lihat bahwa keseharian orang-orang Indonesia keturunan China memang menyukai olah raga. Kenapa bulu tangkis? Karena olah raga ini murah, raketnya murah, shuttle cock-nya juga murah. Bisa main dimana saja selama ada lawan mainnya. Mereka berlatih setiap saat untuk kesehatan badan maupun kesenangan tanpa peduli apakah akan menjadi atlit atau tidak. Dari sekian banyak tentu saja akan muncul seseorang yang paling hebat untuk menjadi atlit. Maka jelas bahwa olah raga adalah budaya dan keseharian. Tidak bisa dibentuk secara instan. Pendidikan melalui Football Academy, belajar tiga tahun terus langsung jadi pemain bola handal, sungguh bikin perutku sakit karena terlalu keras tertawa.

Nah kalau kita berharap suatu saat kita bisa membawa Piala Dunia Sepak Bola ke Indonesia ya kita harus menjadikan olah raga sepak bola sebagai keseharian kita. Biarkan anak-anak berlari-lari di lapangan. Jangan belikan mereka play station atau handphone untuk chatting. Cegah mereka berdiam diri di dalam kamar dengan games dan play station. Biarkan mereka berkotor-kotor dengan tanah. Biarkan mereka keluar rumah dan jangan sedih kalau kulit mereka menjadi coklat dan dekil karena sering bermandi matahari. Berikan mereka kaos dan celana pendek serta bola sepak. Ajarkan mereka cara menendang bola yang benar dan tidak mencederai. Ajarkan bermain dengan adil dan fair, tidak berkelahi adu jotos apalagi tawuran hanya karena kalah bermain. Berikan makanan sehat dan bergizi agar tubuh mereka tumbuh sehat dan kuat. Semua bukan dengan keharusan bahwa mereka akan jadi olahragawan dan pemain bola. Hanya untuk kesenangan dan menjaga kesehatan. Dari jutaan anak-anak yang bermain bola maka akan muncul beberapa yang hebat. Dari yang hebat-hebat itu baru bisa di-asah melalui pendidikan semacam Football Academy untuk belajar lebih mendalam ataupun juga membayar mahal pelatih dari luar.


Olah raga adalah budaya. Setelah tiga generasi dengan budaya olah raga dan terutama bermain bola sepak, kita bisa berharap bahwa suatu saat kita akan bisa memboyong Piala Dunia.

No comments:

Post a Comment